Subulussalam,aceh||Media Indonesia Kebijakan SMA Unggul Kota Subulussalam yang mengeluarkan seorang siswa usai kedapatan merokok di belakang asrama memunculkan diskusi publik tentang batas antara ketegasan disiplin dan esensi pendidikan itu sendiri.
Pihak sekolah melalui Kepala SMA Unggul Subulussalam Syahri Ramadhan,S.Pd,M.Si menjelaskan bahwa merokok dikategorikan sebagai pelanggaran berat dalam tata tertib internal sekolah. Aturan tersebut, menurut pihak sekolah, telah disosialisasikan sejak awal dan ditandatangani oleh orang tua/wali siswa sebagai bentuk persetujuan bersama terhadap konsekuensi pelanggaran.
Dengan dasar itu, sekolah menilai sanksi pengeluaran merupakan langkah yang sesuai dengan regulasi internal yang berlaku.
Namun, di sisi lain, orang tua siswa menilai penerapan aturan tersebut dilakukan secara kaku dan minim ruang pembinaan.
Mereka menyebut bahwa anaknya baru pertama kali melakukan pelanggaran dan selama ini tidak pernah terlibat masalah disiplin lain, hal yang juga diketahui oleh wali kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK).
Yang menjadi sorotan, menurut orang tua, adalah pernyataan pihak sekolah yang menyebut bahwa merokok dianggap sebagai pelanggaran yang lebih parah dibandingkan bullying (perundungan). Pernyataan ini memunculkan pertanyaan publik tentang perspektif nilai yang digunakan dalam menilai bentuk-bentuk pelanggaran siswa.
“Merokok memang salah, tapi membandingkannya dengan bullying tentu memunculkan tafsir sendiri di masyarakat,” ujar orang tua siswa kepada StrategiNews.id.
Pihak keluarga juga menyampaikan bahwa saat kejadian, anak mereka tengah berada dalam tekanan psikologis akibat persoalan keluarga.
Dalam konteks pendidikan modern, kondisi sosial dan mental peserta didik lazimnya menjadi bahan pertimbangan dalam proses pembinaan, khususnya pada pelanggaran pertama.
Kasus ini membuka ruang refleksi: apakah sekolah unggulan semata-mata diukur dari ketegasan tata tertib, atau juga dari kemampuan mendidik anak yang sedang berada dalam fase rapuh? Disiplin memang penting, namun pendidikan sejatinya juga berbicara tentang empati, pendampingan, dan kesempatan memperbaiki diri.
Hingga kini, belum ada keterangan lanjutan dari pihak sekolah mengenai kemungkinan evaluasi atau pendekatan alternatif terhadap siswa bersangkutan.
Sementara itu, publik dihadapkan pada pertanyaan yang lebih luas: sejauh mana aturan sekolah harus ditegakkan secara tekstual, dan kapan kebijaksanaan pendidik perlu berbicara?
Sekolah unggul tidak hanya diuji oleh keberanian menindak, tetapi juga oleh kebijaksanaan dalam mendidik. Di sanalah kualitas pendidikan menemukan maknanya.
Pewarta //IP








