Subulussalam,Aceh||MediaIndonesia_ Sudah menjadi rahasia umum, dua nama perusahaan sawit kini mencuri perhatian publik Subulussalam — PT MSB II dan PT SPT.
Keduanya disebut-sebut telah menjalankan kegiatan usaha meski izin mereka belum lengkap. Sementara di sisi lain, publik mendengar kabar tentang adanya bantuan CSR berupa bus dan pemberian lahan sekitar 100 hektare kepada pemerintah daerah.
Namun yang lebih menggelitik bukan hanya soal izinnya, melainkan mengapa aparat penegak hukum tampak bungkam.
Tidak ada penindakan, tidak ada klarifikasi terbuka, bahkan seolah semua berjalan normal.
Masyarakat pun bertanya: ada apa sebenarnya di balik diamnya hukum?
Hukum seharusnya menjadi panglima, bukan alat kepentingan.
Dalam berbagai regulasi — mulai dari UU Administrasi Pemerintahan, UU Lingkungan Hidup, hingga UU Perkebunan — jelas disebutkan bahwa setiap kegiatan usaha wajib memiliki izin lengkap sebelum beroperasi.
Namun jika pemerintah daerah memilih “membiarkan” perusahaan beroperasi tanpa izin dengan alasan kebijakan politik atau ekonomi, maka itu bukan lagi kebijakan, melainkan penyalahgunaan wewenang.
“Pejabat publik tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk menabrak hukum, walau dengan dalih investasi,” ujar seorang pengamat kebijakan politik di Subulussalam yang enggan disebut namanya.
CSR sejatinya merupakan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat.
Tetapi bila dilakukan di tengah pelanggaran izin, maka CSR berpotensi menjadi imbalan kebijakan.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sudah jelas: setiap pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan KEWAJIBAN PEJABAT , adalah gratifikasi yang harus dilaporkan ke KPK.
Maka ketika sebuah perusahaan belum tuntas izinnya tetapi bisa beroperasi setelah memberikan fasilitas atau lahan, muncul pertanyaan moral dan hukum: apakah itu tanggung jawab sosial, atau “tanggung jawab timbal balik”?
Lalu, Ke Mana Penegak Hukum?Kepolisian, Kejaksaan, hingga Gakkum KLHK — semuanya memiliki kewenangan untuk menindak.
Namun dalam praktiknya, penegakan hukum sering tersandera oleh minimnya bukti formil, tekanan politik, atau konflik kepentingan.
Bisa jadi aparat menunggu instruksi, menahan diri karena ada kekuatan besar, atau bahkan terperangkap dalam lingkaran pembiaran sistemik di mana setiap instansi saling menunggu satu sama lain.
Namun publik punya hak untuk bertanya dan menuntut transparansi:
Apakah benar izin perusahaan sudah lengkap?
Ke mana dokumen CSR dan berita acara penyerahan lahan?
Mengapa tidak ada klarifikasi resmi dari pemerintah maupun penegak hukum?
Sebab diam di tengah pelanggaran bukanlah netralitas — itu adalah bentuk keberpihakan pada kekuasaan.
UU Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 memberi hak kepada masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan pelanggaran lingkungan.
Artinya, penegakan hukum tidak hanya tugas aparat, tetapi juga tanggung jawab moral warga negara.
Masyarakat berhak meminta informasi melalui Komisi Informasi, Ombudsman, atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sebab keterbukaan adalah jalan pertama menuju keadilan.
Subulussalam Harus Memilih — Taat Hukum atau Taat Kepentingan?
Kota Subulussalam kini berada di persimpangan moral.
Antara membangun daerah dengan dasar hukum, atau membiarkan kepentingan jangka pendek menggerogoti integritas pemerintahannya.
Diamnya aparat mungkin menandakan dua hal: ketakutan atau keterlibatan.
Dan keduanya sama berbahayanya bagi masa depan hukum daerah.
Redaksi percaya, publik tidak boleh bungkam.
Karena ketika hukum diam, suara rakyatlah yang harus menggantikannya.
Keadilan tidak akan turun dari langit — ia harus diperjuangkan dari bumi tempat pelanggaran itu terjadi.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan pandangan redaksi sebagai bentuk pendidikan publik dan dorongan moral agar penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu di Kota Subulussalam.
Redaksi //
Pewarta ” IP “







